Hai ! Welcome back guys. Kali ini bukan cerita tentang aku. Kali ini kita akan bercerita tentang adikku, Mae. Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri (lagi). Nama saya Kai, dan ya, namaku hanya tiga huruf itu. Cukup tentang aku. Kalau diteruskan mungkin Mae akan marah karena aku udah janji cerita kali ini tentang dirinya. Fine, I get Mae. Ini juga udah mau dimulai ceritanya.
Dari mana sebaiknya kita mulai? Ooh.. Baiklah. Sesuai kesepakatan bersama, kita mulai dari namanya. Sebelumnya, saya sudah membuat kesepakatan dengan Mae kalau dia tak boleh protes selama proses cerita berlangsung. Karena bagaimanapun ini cerita saya walaupun bukan tentang saya.
Langsung saja. Namanya Siti Maemunah. Lahir di Tokyo, besar di Tokyo, tapi harus terdampar di Indonesia saat usianya 13 tahun. Hei, aku tahu apa yang ada dipikiran kalian semua. Pasti bingung kenapa namanya bisa nyasar jadi Siti Maemunah. Begini ceritanya.
Saat Mae lahir, Ayah sedang bertugas di Indonesia. Melalui telepon jarak jauh, Ibu menanyakan siapa nama untuk anak perempuannya. Entah terpeleset atau kaget, Ayah tiba-tiba berteriak “SITI MAEMUNAH!”. Ibu yang merupakan orang Jepang berpikir kalau itu nama yang cukup unik dan memutuskan untuk menamai adikku Siti Maemunah. Kalau saja saat itu aku mengerti permasalahannya, mungkin ini yang akan aku katakan pada Ibu : Hellow Ibu… Nama Siti Maemunah itu kan kampungan bangeeet…!!!. (Akan lebih terasa jika kalian membacanya penuh dengan eskpresi yang lebay).
Mae kurang beruntung. Sebelum Ayah datang untuk merevisi namanya, Mae sudah terdaftar di asuransi jiwa, asuransi pendidikan dan akte kelahiran. Jadilah namanya Siti Maemunah, dengan nama gaul Mae.
Di Jepang, nama Mae menjadi beken karena mirip-mirip dengan nama orang sana. Ditambah lagi perpaduan dengan darah Indonesia membuat Mae sedikit unik. Kulit putih, badan agak berisi, mata yang bundar seperti kacang almond, rambut hitam lurus, hidung mungil khas orang Jepang. Hanya saja, kepopulerannya tidak bertahan lama karena kami harus pindah ke Indonesia.
Disinilah malapetaka itu dimulai. Kalau aku dirasa lebih beruntung di Indonesia karena aku tidak bisa berbahasa Jepang, maka Mae adalah kebalikan nasibku. Wajah dan logat serta bahasa Jepang yang digunakannya tidak matching dengan nama yang disandangnya, Siti Maemunah. Aku pernah mendengar salah seorang teman Mae berkata, “Kasian ya si Mae. Muka cantik, turunan Jepang, tapi namanya kampungan.” Yup teman-teman. Itulah yang aku maksudkan sedari tadi. Nama itu kampungan. Ditambah lagi karena penampilannya bak orang asing yang datang berkunjung ke Indonesia.
Tidak sampai disitu, karena susah berbahasa Indonesia, Mae menjadi pendiam. Padahal sebelumnya Mae sangat cerewet. Ini juga dijadikan sasaran ejekan teman-teman Mae. Sudah kubilang, nasib kami tertukar. Aku yang namanya seperti orang Jepang malah tak bisa bahasa Jepang. Dunia kadang memang tak adil.
Apa tadi? Cara kami berkomunikasi? Hm.. sebenarnya ini rahasia keluarga, tapi kali ini aku berbaik hati untuk menceritakannya kepada kalian. Kami bertelepati. Sulit untuk dipercaya, tapi memang begitulah adanya. Kalau aku ingin bicara padanya, aku akan bicara dalam bahasa Indonesia. Kemudian dia akan meresponnya dalam bahasa Jepang. Herannya, kami saling mengerti apa yang kami bicarakan. Bukankah itu telepati?
Baiklah. Aku sudah menepati janjiku untuk bercerita tentang Mae. Dan Mae juga menepati janjinya dengan diam saja saat kuceritakan tentang dirinya pada kalian. Kisah selanjutnya mau tentang apa? Apa tentang orangtuaku? Atau mungkin tentang teman-temanku? Kalian pikirkan dulu sementara waktu ini. Setelah dapat keputusannya, beri tahu aku segera.
See you in the next story…